Biografi Muhammad al-Idrisi, Pakar Geografi, Kartografi, Mesirologi, dan Pengembara

Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi al-Qurtubi al-Hasani al-Sabti atau singkatnya Al-Idrisi (bahasa Arab: أبو عبد الله محمد الإدريسي; bahasa Latin: Dreses) (1100 – 1165 atau 1166) adalah pakar geografi, kartografi, mesirologi, dan pengembara yang tinggal di Sisilia, tepatnya di istana Raja Roger II. Muhammad al-Idrisi lahir di kota Afrika Utara Ceuta (Sabtah) yang termasuk bagian Kekaisaran Murabitun dan wafat di Sisilia. Al-Idrisi merupakan keturunan para penguasa Idrisiyyah di Maroko, yang merupakan keturunan Hasan bin Ali, putra Ali dan cucu nabi Muhammad.[1]Pendidikan Al-Idrisi diperoleh di Andalusia.Tumbuh dan besar di Cetua, Al-Idrisi muda mengembara ke Spanyol Islam, Portugal, Perancis, dan Inggris. Dia mengunjungi Anatolia saat ia baru berusia 16 karena terjadinya konflik dan ketidakstabilan di Andalusia. Dia kemudian bersama orang-orang sezamannya menyatu di Sisilia, di mana bangsa Normandia telah menundukkan bangsa Arab yang dulunya loyal kepada Kekhalifahan Fatimiyah. Menurut Ibnu Jubayr: "bangsa Normandia bertoleransi dan melindungi keluarga-keluarga Arab dalam pertukaran ilmu pengetahuan."Al-Idrisi menggabungkan pengetahuan dari Afrika, Samudera Hindia, dan Timur Jauh yang dikumpulkan para penjelajah dan pedagang Islam dalam bentuk peta Islam, dan juga dari informasi yang dibawa oleh pelayar-pelayar Normandia untuk membuat peta paling akurat di dunia pada masa pramodern,[2] yang diletakkan sebagai ilustrasi Kitab Nuzhat al-Mushtaq miliknya, (Latin: Opus Geographicum) diterjemahkan Hiburan untuk Manusia yang Rindu Mengembara ke Tempat-Tempat Jauh.[3]Tabula Rogeriana digambar oleh Al-Idrisi pada tahun 1154 untuk Raja Normandia Roger II dari Sisilia, setelah delapan menetap di istananya, di mana dia bekerja untuk penjelasan dan ilustrasi peta. Peta tersebut, dengan legenda berbahasa Arab, menampilkan daratan Eurasia secara keseluruhan dan sebagian kecil bagian utara benua Afrika dengan sedikit detail pada Tanduk Afrika dan Asia Tenggara.Untuk Roger, tabula itu diukir dalam piringan besar dari perak padat yang berdiameter dua meter.Sebagai tambahan, Al-Idrisi juga merupakan ahli farmakologi dan seorang dokter.Mengenai karya geografi al-Idrisi, S. P. Scott menulis:
Kompilasi Al-Idrisi menandakan sebuah era dalam sejarah pengetahuan. Tidak hanya itu, informasi historis karya-karyanya sangat menarik dan berharga, namun dekripsi-deksripi karyanya terhadap banyak tempat di bumi masih otoritatif. Selama tiga abad para pakar geografi menyalin petanya tanpa perubahan. Posisi relatif danau yang membentuk sungai Nil, seperti yang digambarkan dalam karyanya, tidak banyak berbeda dari yang dibuat Baker dan Stanley lebih dari tujuh ratus tahun kemudian, begitu pula bilangannya sama. Kejeniusan mekanis penulis tidak lebih rendah dari pengetahuannya. Planisfer angkasa dan bumi dari perak yang dibuatnya untuk raja pelindungnya hampir enam kaki diameternya dan beratnya empat ratus lima puluh pon; di satu sisi dukir zodiak dan rasi bintang, sementera di sisi lain dibagi menjadi segmen-segmen daratan dan perairan, dengan situasi masing-masing dari berbagai negeri.[2]
Al-Idrisi menginspirasi pakar geografi Islam lainnya seperti Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, Piri Reis dan Barbary Corsairs. Petanya juga menginspirasi Christopher Columbus dan Vasco Da Gama

Nuzhatul Mushtaq

Karya teks geografi Al-Idrisi, Nuzhatul Mushtaq, sering dikutip oleh para pendukung teori hubungan Andalusia-Amerika pra-Columbus. Dalam teks ini, al-Idrisi menulis mengenai Samudera Atlantik:
"Komandan umat Muslim Ali bin Yusuf bin Tashfin mengirim laksamanya Ahmad bin Umar, yang baik dikenal dengan nama Raqsh al-Auzz untuk menyerang suatu pulau di Atlantik, namun dia wafat sebelum melaksanakannya. [...] Di balik samudera kabut ini, tidak diketahui apa yang ada disana. Tak seorangpun memiliki pengtahuan yang pasti mengenainya karena betapa sulitnya melintasinya. Udaranya berkabut, gelombangnya begitu kuat, dan bahaya yang mengancam sangat besar, makhluk-makhluknya sangat mengerikan, dan sering terjadi badai. Disana terdapat banyak pulau, sebagian di antaranya tidak berpenghuni, sementara lainnya terbenam. Tak seorang navigator pun melewatinya kecuali mengelilingi pantai-pantainya. [...] Dan dari kota Losbon, para petualang berangkat dengan nama yang dikenal sebagai Mugharrarin [yang terbujuk], menembus samudera kabut dan ingin mengetahui apa yang ada disana dan di mana berakhirnya. [...] Setelah berlayar selama dua belas hari lebih mereka merasakan sebuah pulau untuk dihuni, dan mengolah perkebunan. Mereka terus berlayar untuk mengatahui apa yang ada di sana. Namun kemudian barque mengepung dan menawan mereka, dan membawa mereka ke pedesaan suram di pantai. Di sana mereka mendarat. Sang navigator melihat orang-orang berkulit merah; tidak banyak rambut di tubuh mereka, rambut di kepala mereka lurus, dan mereka berperawakan tinggi. Wanita-wanita mereka memiliki kecantikan luar biasa."[4]
Terjemahan oleh Dr. Professor Muhammad Hamidullah masih dipertanyakan karena tertulis, setelah mencapai wilayah "perairah yang lembap dan berbau", Mugharrarin (juga diterjemahkan "para petualang") kemudian mundur dan pertama mencapai pulau tak berpenghuni di mana mereka menemukan "sejumlah besar domba yang dagingnya pahit dan tidak dapat dimakan" dan kemudian "melanjutkan ke selatan" dan mencapai yang disebutkan tadi di mana mereka dikelilingi para barque dan dibawa ke "desa yang penghuninya berambut panjang dan kemerahan dan wanitanya memiliki kecantikan yang langka". Di antara penduduk desa, salah satunya berbicara dengan bahasa Arab dan menanyai asal usul mereka. Kemudian kepala desa memerintahkan untuk membawa mereka ke benua di mana mereka disambut baik oleh bangsa Berber.Terpisah dari laporan mengagumkan dan fantastis sejarah ini, intepretasi yang paling mungkin adalah bahwa Mugharrarin mencapai Laut Sargasso, bagian dari samudera itu yang tertutup rumput laut dan sangat dekat dengan Bermuda seribu mil jauhnya dari daratan Amerika. Kemudian ketika datang kembali, mereka mungkin telah mendarat di Azores atau Madeira atau bahkan di Kepulauan Canary paling barat, Hiero (karena domba). Terakhir, cerita dengan pulau berpenghuni mungkin terjadi di Tenerife atau di Gran Canaria, di mana Mugharrarin bertemu beberapa orang Guanche. Hal ini menjelaskan mengapa di antara mereka ada yang dapat berbahasa Arab (beberapa hubungan sporadis telah mencapai kepulauan Canary dan Maroko) dan mengapa mereka dengan segera diasingkan ke Maroko di mana mereka disambut dengan baik oleh orang Berber. Namun, cerita yang diabadikan Idrisi tidak terbantahkan mengenai pengetahuan Samudera Atlantik oleh bangsa Arab dan oleh vasal Andalusia dan Moroko mereka.sumber wikipedia.org

Artikel PALING YESS Lainnya :

Scroll to top