Pertanyaan : Assalamu 'alaikum wr. wb.Mohon penjelasan tentang harta bersama antara suami dan istri dalam pandangan kacamata syariat Islam.1. Bagaimana ketentuannya, apakah setiap harta yang dimiliki oleh suami secara otomatis juga jadi harta milik istri?2. Ataukah harta suami tidak secara otomatis menjadi harta istri, kecuali setelah suami memberikannya dengan akad yang jelas?3. Lalu bagaimana dengan harta istri sendiri, misalnya dia punya harta warisan atau punya penghasilan sendiri, apakah suaminya otomatis juga berhak atas harta itu?4. Ataukah harta istri 100% menjadi milik istri dan suami tidak punya hak sama sekali, kecuali kalau istri memberikannya?Demikian pertanyaan kami mohon ustadz berkenan menjawabnya. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.Wassalam
Jawaban : Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Kasus bercampurnya harta yang paling sering terjadi adalah harta antara suami dan istri. Maklum saja, karena bangsa Indonesia ini meski mengaku beragama Islam, tetapi dalam urusan harta antara suami dan istri, masih banyak yang menganut sistem dari Barat, yaitu harta gono-gini.Padahal sistem Islam tidak mengenal istilah harta gono-gini, baik harta bawaan yang dibawa oleh masing-masing suami istri sebelum menikah, atau pun harta bersama, yaitu harta yang didapat selama masa pernikahan.Yang berlaku dalam sistem Islam adalah harta yang didapat oleh suami, baik sebelum pernikahan ataupun selama masa menikah, 100% adalah milik suami. Dan begitu juga sebaliknya, semua harta yang didapat oleh istri, baik sejak sebelum menikah ataupun selama masa pernikahan, 100% milik istri.Namun suami memang punya kewajiban memberikan sebagian hartanya kepada istri, baik dalam bentuk mahar, nafkah, dan lainnya. Harta yang diberikan suami untuk istrinya, barulah harta itu berubah kepemilikannya jadi milik istri. Dan yang tidak diberikan, maka statusnya tetap milik suami.Di dalam syariat Islam tidak dikenal harta yang bercampur dan dimiliki bersama secara otomatis, kecuali bila suami dan istri sepakat untuk membeli sesuatu secara patungan, maka barulah menjadi milik bersama, dengan prosentase kepemilikan yang proposional.Yang dimaksud dengan proporsional itu misalnya begini, suami istri sepakat patungan membeli rumah seharga 1 milyar. Uang suami 800 juta dan uang istri 200 juta. Berarti proposi kepemilikan masing-masing adalah 4 banding 1. Rumah itu 80%-nya milik suami dan 20%-nya milik istri. Kalau suami meninggal dunia, maka yang dibagi waris hanya 80% dari nilai rumah itu. Sebaliknya, kalau yang meninggal istri, maka yang dibagi waris hanya 20% dari nilai rumah itu.Sedangkan dalam sistem gono-gini bawaan dari Barat, bila suami istri sepakat patungan membeli rumah, tidak peduli berapa porsi nilai saham masing-masing, secara otomatis dianggap kepemilikannya adalah 50 : 50.Kalau seandainya mereka bercerai, dalam hukum gono-gini rumah itu harus dibelah dua sama besar. Walaupun uang suami untuk membeli rumah itu jauh lebih besar, yaitu 800 juta misalnya, namun hukum sekuler barat itu telah menzalimi hak kepemilikan suami, karena yang diakui hanya 500 juta saja.Maka wajar kalau di Barat sana, orang-orang cenderung menjauhi pernikahan, karena pernikahan itu bisa membuat orang jadi rugi secara material dengan adanya hukum gono-gini ini.Usaha Bersama Suami IstriKasus yang sering terjadi misalnya pada pasangan suami istri. Sejak menikah pasangan itu telah membangun usaha bersama, katakanlah membuka toko. Keduanya mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua.Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan, lantran kedua suami istri. Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia. Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu di dalam harta berupa usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami tentu tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan itu.Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak. Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang status kepemilikan usaha keluarga itu. Berapakah besar bagian yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri, seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka berapa besar saham istri harus ditetapkan secara jelas. Dan kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus ditetapkan secara jelas juga.Intinya, hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik istri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.Suami Memberi Hadiah Kepada IstriSebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum sendiri. Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak mendapat harta warisan berupa kolam pemancingan dari peninggalan harta kakak mereka, lantaran sang kakak tidak punya anak laki-laki.Dalam hal ini, kalau almarhum tidak punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh kepada ashabah yang tidak lain adalah adik-adik almarhum. Tapi menurut istri almarhum, kolam pancing ikan yang diributkan itu pada dasarnya bukan asset harta milik suaminya. Karena semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan kolam pancing itu kepada dirinya sebagai hadiah ulang tahun.Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas nama istri. Maka harta itu tidak bisa dibagi waris, karena statusnya bukan milik almarhum. Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing pihak, harus ditelusuri terlebih dahulu, baik dengan menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat bukti kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi waris bisa dilakukan.Pinjam atau BeliIni kisah nyata. Di masa lalu, seorang adik pinjam uang kepada kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang pinjaman ini tidak dikembalikan. Otomatis sawah sebagai jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan. Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli waris meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka, karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai jaminan hutang.Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka, lantaran utang belum pernah dikembalikan. Anak keturunan si adik akhirnya bersedia mengembali-kan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai itu saja.Karuan saja keluarga sang kakak meradang, karena apa artinya uang segitu di zaman sekarang ini. Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi haji ke tanah suci. Mereka meminta setidaknya uang itu dikembalikan seharga biaya ONH sekarang, yaitu sekitar 30-an juta.Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat, yang intinya menuntut penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum.Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Ahmad Sarwat, Lc., MAsumber rumahfiqih.com