Kisah Usamah bin Zaid, Panglima Terakhir Rasulullah

PalingYess.com -- Cahaya Islam terus bersinar menerangi seantero tanah Arab. Dengan suka rela, setiap insan yang mendengar seruan kalimat tauhid, berbondong-bondong menyambutnya.Wajah-wajah kusut yang semula berselimut kabut kemusyrikan menjadi cerah disinari pancaran cahaya Ilahi. Farwah bin Umar Al-Judzami, kepala daerah Ma’an dan sekitarnya yang diangkat Kaisar Romawi, segera memeluk agama Islam.Mengetahui hal itu, para penguasa Romawi sangat marah. Sebab Farwah bukan rakyat biasa, tapi kepala daerah yang menjadi ikutan rakyat banyak. Mereka segera menangkap Farwah dan menjebloskannya ke penjara.Selanjutnya, ia dibunuh dan kepalanya dipancung, lalu diletakkan di sebuah mata air bernama Alfa’ di Palestina. Mayatnya disalib untuk menakut-nakuti para penduduk agar tidak mengikuti jejaknya.Mengetahui kejadian tersebut, Rasulullah SAW segera menyiapkan pasukan. Sebagai panglima perang, diangkatlah Usamah bin Zaid bin Haritsah. Kala itu usianya baru 18 tahun. Rasulullah memerintahkannya untuk mendirikan markas perkemahan di daerah Juraf, di luar Kota Madinah.Beberapa sahabat sempat mempertanyakan keputusan tersebut. Apalagi, turut serta dalam pasukan itu para sahabat senior semisal Umar bin Khathab, Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Amru bin Nufail, dan lainnya.Mendengar desas-desus yang seolah menyepelekan kemampuan Usamah itu, Umar bin Khathab segera menemui Rasulullah. Beliau sangat marah, lalu bergegas mengambil sorbannya dan keluar menemui para sahabat yang tengah berkumpul di Masjid Nabawi.Setelah memuji Allah dan mengucapkan syukur, beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku mendengar pembicaraan mengenai pengangkatan Usamah? Demi Allah, seandainya kalian menyangsikan kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan ayahnya, Zaid bin Haritsah.”“Demi Allah, Zaid sangat pantas memegang pimpinan, begitu juga dengan putranya, Usamah. Kalau ayahnya sangat aku kasihi, maka putranya pun demikian. Mereka adalah orang yang baik. Hendaklah kalian memandang baik mereka berdua. Mereka juga adalah sebaik-baik manusia di antara kalian.”Setelah itu, beliau turun dari mimbar dan masuk ke rumahnya. Kaum Muslimin pun berdatangan hendak berangkat bersama pasukan Usamah. Mereka menemui Rasulullah yang saat itu dalam keadaan sakit. Di antara mereka terdapat Ummu Aiman, ibu Usamah.“Wahai Rasulullah, bukankah lebih baik, jika engkau biarkan Usamah menunggu sebentar di perkemahannya sampai engkau merasa sehat. Jika dipaksa berangkat sekarang, tentu dia tidak akan merasa tenang dalam perjalanannya,” kata Ummu Aiman.Namun, Rasulullah SAW menjawab, “Biarkan Usamah berangkat sekarang juga.”Tentara kaum Muslimin sudah berkumpul di perkemahan pasukan. Malam itu mereka menginap.Keesokan harinya Usamah menemui Rasulullah SAW yang sakitnya semakin berat. Ketika Usamah mencium wajahnya, beliau tidak mengatakan apa-apa selain mengangkat kedua belah tangan ke langit serta mengusap kepala Usamah, mendoakannya.Usamah segera kembali ke pasukannya yang masih menunggu. Setelah semuanya lengkap, mereka mulai bergerak.Belum jauh pasukan itu meninggalkan Juraf, tempat markas perkemahan, datanglah utusan dari Ummu Aiman memberitahukan bahwa Rasulullah SAW telah wafat.Usamah segera memberhentikan pasukannya. Bersama Umar bin Khathab dan Abu Ubaidah bin Jarrah, ia segera menuju rumah Rasulullah. Sementara itu, tentara kaum Muslimin yang bermarkas di Juraf membatalkan pemberangkatan dan kembali juga ke Madinah.Melalui syura yang diliputi kesedihan mendalam, kaum Muslimin sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah. Abu Bakar segera memanggil Usamah untuk kembali memimpin pasukan, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah sebelumnya.Tindakan Khalifah Abu Bakar tentu saja mendapat reaksi dari beberapa sahabat. Apalagi saat itu beberapa kelompok kaum Muslimin murtad dari agama Islam. Kota Madinah memerlukan penjagaan ketat.Menangggapi hal itu, Abu Bakar menjawab, “Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, seandainya aku tahu akan dimakan binatang buas sekalipun, niscaya aku tetap akan mengutus pasukan ini ke tujuannya. Aku yakin, mereka akan kembali dengan selamat.”“Bukankah Rasulullah SAW yang diberikan wahyu dari langit telah bersabda, ‘Berangkatkan segera pasukan Usamah!’ Namun, ada satu permintaanku. Biarkan Umar tetap tinggal di Madinah untuk membantuku. Aku tidak tahu apakah permintaanku ini disetujui Usamah atau tidak.”Kini para sahabat yakin, bahwa Khalifah mereka yang baru itu telah berazam sepenuhnya untuk mengirim pasukan Islam, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah SAW  sebelumnya. Abu Bakar segera pergi menemui Usamah dan memintanya agar membiarkan Umar tinggal di Madinah untuk membantunya.Usamah setuju. Abu Bakar lalu memerintahkan kaum Muslimin yang semula bergabung dengan pasukan Usamah untuk terus ikut serta. Ia juga memarahi mereka yang sempat menyepelekan kemampuan Usamah.Ketika pasukan yang berjumlah sekitar 3.000 orang—1.000 orang di antaranya menunggang kuda—mulai bergerak, Abu Bakar datang untuk mengucapkan selamat kepada mereka. Saat itu, ia berjalan kaki di samping Usamah yang menunggang kuda. Melihat hal itu, Usamah bergegas hendak turun dari punggung hewan tunggangannya.Namun, Abu Bakar buru-buru mencegah, “Demi Allah, jangan turun wahai Usamah. Biarkan telapak kakiku ini dipenuhi debu sabilillah beberapa saat. Bukankah setiap langkah pejuang akan memperoleh imbalan tujuh ratus kebaikan, dan menghapus tujuh ratus kesalahan.”
Usamah dan pasukannya terus bergerak dengan cepat meninggalkan Madinah. Setelah melewati beberapa daerah yang masih tetap memeluk Islam, akhirnya mereka tiba di Wadilqura.Usamah mengutus seorang mata-mata dari suku Hani Adzrah bernama Huraits. Ia maju meninggalkan pasukan hingga tiba di Ubna, tempat yang mereka tuju.Setelah berhasil mendapatkan berita tentang keadaan daerah itu, dengan cepat ia kembali menemui Usamah. Huraits menyampaikan informasi bahwa penduduk Ubna belum mengetahui kedatangan mereka dan tidak bersiap-siap.Ia mengusulkan agar pasukan secepatnya bergerak untuk melancarkan serangan sebelum mereka mempesiapkan diri. Usamah setuju. Dengan cepat mereka bergerak. Seperti yang direncanakan, pasukan Usamah berhasil mengalahkan lawannya.Hanya selama empat puluh hari kemudian, mereka kembali ke Madinah dengan sejumlah harta rampasan perang yang besar, dan tanpa jatuh korban seorang pun.Sejak saat itu, pamor Usamah bin Zaid kian benderang di kalangan para sahabat. Selain dikenal sebagai panglima pasukan termuda, ia juga adalah sahabat sekaligus putra sahabat yang dicintai Rasulullah SAW.Hal ini pernah dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khathab. Suatu ketika Umar RA membagi-bagikan hadiah kepada kaum Muslimin. Kepada Usamah diberikan nilai lebih dari yang lain.Mengetahui hal itu, putranya, Abdullah bin Umar bertanya, “Wahai ayahanda, mengapa engkau memberi lebih kepada Usamah? Padahal, aku juga selalu menyertai setiap peperangan yang ia ikuti?”Umar menjawab, “Usamah lebih dicintai Rasulullah dibanding engkau. Dan ayahnya lebih disayangi ketimbang ayahmu.”Sekilas ucapan Umar itu tampak berlebihan, tapi sebenarnya tidak. Selain menunjukkan ketawadhuan Umar sendiri, apa yang ia ucapkan cukup beralasan. Usamah adalah putra Zaid bin Haritsah. Dialah (Zaid) satu-satunya sahabat yang pernah menjadi anak angkat Rasulullah dan namanya tercantum dalam Alquran (Surah Al-Ahzab: 37).Zaid juga yang mendapatkan amanah Rasulullah untuk memimpin Perang Muktah sebelum diambil-alih oleh Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah setelah Zaid bin Haritsah gugur. Sedang ibunya, Ummu Aiman, adalah mantan pengasuh Rasulullah.Waktu terus bergulir. Setelah menjalani hidupnya dengan berbagai perjuangan bersama para sahabat lain, Usamah bin Zaid wafat tahun 53 H/ 673 M. Manusia lahir dan mati silih berganti, mengisi lembaran sejarah. Semoga lembaran kisah Usamah menginspirasi kita untuk lebih berbuat banyak demi Islam.sumber republika.co.idSumber : 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

Artikel PALING YESS Lainnya :

Scroll to top