Pertanyaan : Assalamualaikum wr wb, pa ust yg smoga dirahmati dan diberi kesehatan oleh Allah SWT, saya pernah membaca hadits tentang anjuran Rasul kepada seorang wanita dewasa untuk menyusui anak angkatnya yang sudah dewasa supaya menjadi mahramnya,1. Benarkah bahwasanya Siti Aisyah menyetujui bahwa ini adalah cara menjadikan laki laki dewasa menjadi mahrom wanita yg menyusuinya? Sehingga ada ulama mesir yg berfatwa konyol membolehkan menyusu pada wanita dewasa?2. Lalu bagaimana jika ada orang yg memakai/mengamalkan ijtihad ini? Toh ijtihad itu sah untuk diikuti, benar dapat dua pahala dan kalau salah dapat satu pahala. Nah, kalau boleh begini lantas apakah tidak berakibat timbul banyaknya kemaksiatan?3. Apakah semua ijtihad boleh diikuti sekalipun itu ijtihad menyalahi jumhur? Namun setahu saya jumhur ulama dan ummahatul mukminin lainnya menghususkan hadits itu hanya berlaku untuk sahabat (salim) itu saja. Syukron Jazakumullah
Jawaban : Assalamu 'alaikum warhmatullahi wabarakatuh,Inti dari jawaban pertanyaan ini adalah bahwa hanya Aisyah seorang saja yang berpendapat hal itu dibolehkan, selebihnya seluruh istri Nabi, para shahabat dan juga para ulama sepanjang zaman dari empat mazhab telah sepakat menolaknya. Maka boleh disimpulkan bahwa pendapat ini meski merupakan pendapat Aisyah dan ada dalilnya di dalam kitab Sahih Muslim, namun bukan pendapat yang bisa diterima.Pertanyaan Pertama : Benarkah Aisyah Menyetujui Laki-laki Dewasa Menyusui Para Wanita Agar Jadi Mahram?Memang tidak dipungkiri faktwa bahwa Aisyah radhiyallahu'anha adalah satu-satunya di antara para shahabat nabi yang berpendapat bahwa laki-laki yang sudah baligh bisa menjadi mahram dengan seorang wanita kalau dia menyusu kepadanya. Selain beliau, nyaris seluruh shahabat termasuk seluruh istri nabi tidak ada yang berpendapat demikian.Hal ini terdapat setidaknya dalam tiga hadits shahih yang teks lengkapnya sebagai berikut :Hadits Pertama : عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ سَالِمًا مَوْلَى اَبِى حُذَيْفَةَ كَانَ مَعَ اَبِى حُذَيْفَةَ وَ اَهْلِهِ فِى بَيْتِهِمْ. فَاَتَتْ (تَعْنِى اِبْنَةَ سُهَيْلٍ) النَّبِيَّ ص، فَقَالَتْ: اِنَّ سَالِمًا قَدْ بَلَغَ مَا يَبْلُغُ الرِّجَالُ، وَ عَقَلَ مَا عَقَلُوْا، وَ اِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَ اِنِّى اَظُنُّ اَنَّ فِى نَفْسِ اَبِى حُذَيْفَةَ مِنْ ذلِكَ شَيْئًا. فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ص: اَرْضِعِيْهِ، تَحْرُمِى عَلَيْهِ وَ يَذْهَبِ الَّذِى فِى نَفْسِ اَبِى حُذَيْفَةَ. فَرَجَعَتْ، فَقَالَتْ: اِنِّى قَدْ اَرْضَعْتُهُ، فَذَهَبَ الَّذِى فِى نَفْسِ اَبِى حُذَيْفَةَ. مسلم Dari ‘Aisyah RA, bahwasanya Salim bekas budaknya Abu Hudzaifah ikut bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka. Lalu istri Abu Hudzaifah (anak perempuan Suhail), datang kepad Nabi SAW, dan berkata, “Sesungguhnya Salim telah baligh, dan akalnya pun sebagaimana pada umumnya orang dewasa. Dan dia berada di rumah kami. Sedangkan aku menyangka bahwa pada diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (kecemburuan) berkenaan dengan hal itu, bagaimanakah yang demikian itu ?”. Nabi SAW bersabda kepadanya, “Susuilah dia, maka kamu menjadi haram kepadanya dan akan hilanglah sesuatu yang ada pada diri Abu Hudzaifah”. Lalu Sahlah pulang. Kemudian ia berkata, “Sungguh aku telah menyusuinya”. Maka hilanglah sesuatu yang ada pada diri Abu Hudzaifah. (HR. Muslim)Hadits Kedua :عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَتْ اُمُّ سَلَمَةَ لِعَائِشَةَ: اِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْكِ اْلغُلاَمُ اْلاَيْفَعُ الَّذِى مَا اُحِبُّ اَنْ يَدْخُلَ عَلَيَّ؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: اَمَا لَكِ فِى رَسُوْلِ اللهِ ص اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ؟ وَ قَالَتْ: اِنَّ امْرَأَةَ اَبِى حُذَيْفَةَ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّ سَالِمًا يَدْخُلُ عَلَيَّ وَ هُوَ رَجُلٌ وَ فِى نَفْسِ اَبِى حُذَيْفَةَ مِنْهُ شَيْءٌ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَرْضِعِيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْكِ.Dari Zainab binti Ummu Salamah, ia berkata : Ummu Salamah berkata kepada A’isyah, “Sesungguhnya ada seorang yang sudah baligh keluar-masuk ke (rumah)mu yang aku sendiri tidak menyukai ia masuk (rumah)ku”. Lalu Aisyah menjawab, “Tidakkah pada diri Rasulullah SAW ada suri teladan yang baik bagimu ?”. Dan ‘Aisyah berkata (lagi) : Sesungguhnya istri Abu Hudzaifah pernah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Salim keluar masuk (rumah)-ku, sedang ia kini telah dewasa sedangkan pada diri Abu Hudzaifah ada sesuatu terhadapnya, yang demikian itu bagaimana ?”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Susuilah ia, sehingga ia (boleh) keluar masuk (rumah)mu”. (Muslim).Hadits Ketiga :عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: جَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلٍ اِلَى النَّبِيِّ ص فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى اَرَى فِى وَجْهِ اَبِى حُذَيْفَةَ مِنْ دُخُوْلِ سَالِمٍ (وَ هُوَ حَلِيْفُهُ). فَقَالَ النَّبيُّ ص: اَرْضِعِيْهِ. قَالَتْ: وَ كَيْفَ اُرْضِعُهُ وَ هُوَ رَجُلٌ كَبِيْرٌ؟ فَتَبَسَّمَ رَسُوْلُ اللهِ ص وَ قَالَ: قَدْ عَلِمْتُ اَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيْرٌ. مسلمDari ‘Aisyah, ia berkata : Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) datang kepada Nabi SAW lalu bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku melihat perubahan wajah Abu Hudzaifah berkenaan dengan keberadaan Salim di rumah kami, bagaimanakah yang demikian itu ?”. (Salim adalah anak angkatnya). Nabi SAW bersabda, “Susuilah dia !”. Sahlah berkata, “Bagaimana aku menyusuinya sedangkan dia adalah seorang laki-laki yang sudah besar ?”. Maka Rasulullah SAW tersenyum lalu bersabda, “Aku tahu dia itu seorang laki-laki yang sudah besar”. (HR. Muslim)Tiga hadits di atas semua datang dari riwayat Aisyah radhiyallahuanha, yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim. Tentu saja status keshahihannya sudah dijamin. Karena semua hadits yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim memang hadits-hadits pilihan yang dijamin keshahihannya oleh Al-Imam Muslim.Hadits yang terakhir menceritakan bahwa Aisyah dipertanyakan oleh Ummu Salamah, sebagai sama-sama istri Rasulullah SAW. Yang dipertanyakan itu masalah adanya laki-laki yang bukan mahram, tetapi kok bisa keluar masuk ke rumah istri NAbi? Bukankah hal itu tidak diperkenankan?Aisyah kemudian menjawab bahwa solusinya bisa saja laki-laki itu disususi agar bisa menjadi mahram. Sehigga tidak lagi jadi masalah kalau ada kebutuhan masuknya laki-laki ke dalam rumah. Dan saat itu hujjah yang dikemukakan Aisyah bahwa Nabi SAW konon pernah membolehkan penyusuan untuk menjadikan mahram, walau pun yang menyusu sudah bukan anak bayi lagi, tapi sudah baligh.Dalam kitab Syarah Shahih Muslim disebutkan bahwa Salim adalah seorang budak anak kecil yang awalnya dipelihara oleh pasangan suami istri shahabiyah, Abu Hudzaifah dan istrinya yang bernama Sahlah. Ketika Salim ini beranjak menjelang baligh atau disebut al-ghulamul aifa', maka tentu saja timbul masalah dengan ibu asuhnya, yaitu mereka berdua bukan mahram.Istri Nabi Yang Lain Tidak Sependapat Dengan AisyahTentu saja apa yang jadi pendapat Aisyah ini ditentang oleh banyak kalangan, termasuk para istri Nabi sendiri. Mereka umumnya tidak menerima dalil yang digunakan oleh Aisyah. Dalam pandangan mereka, kebolehan dari Nabi SAW itu hanya berlaku khusus buat Sahlah, istri Abu Hudzaifah dan mantan anak asuhnya yang sudah hampir baligh, yaitu Salim.Hal itu bisa kita baca dari hadits shahih lainnya, yang sama-sama ada di dalam kitab Shahih Muslim juga :عَنْ زَيْنَبَ عَنْ اُمِّهَا اُمِّ سَلَمَةَ اَنَّهَا قَالَتْ: اَبَى سَائِرُ اَزْوَاجِ النَّبِيِّ ص اَنْ يُدْخِلْنَ عَلَيْهِنَّ اَحَدًا بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ وَ قُلْنَ لِعَائِشَةَ: مَا نَرَى هذَا اِلاَّ رُخْصَةً اَرْخَصَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص لِسَالِمٍ خَاصَّةً، فَمَا هُوَ بِدَاخِلٍ عَلَيْنَا اَحَدٌ بِهذِهِ الرَّضَاعَةِ، وَ لاَ رَائِيْنًاDari Zainab dari Ibunya (yaitu) Ummu Salamah, bahwa sesungguhnya Ummu Salamah berkata : Seluruh istri-istri Nabi SAW menolak adanya laki-laki yang keluar-masuk rumah mereka, (yang dimahramkan dengan cara) susuan seperti itu. Dan mereka (juga) pernah menyanggah ‘Aisyah, “Tidakkah engkau tahu, bahwa itu hanya suatu keringanan yang dikhususkan oleh Rasulullah SAW buat Salim saja ?. Maka tidaklah seseorang (boleh) masuk (rumah) kami dengan susuan seperti itu dan (juga) tidak (boleh) melihat kami”. (HR. Muslim).Selain itu para ulama dari empat mazhab pun semua sepakat bahwa tidak ada cerita orang yang sudah baligh, kok bisa-bisanya menyusu kepada seorang wanita, hanya karena ingin menjadi mahram. Selain tidak masuk akal, tentu saja juga sangat tidak etis. Maka cuma mazhab Daud Adz-Dzahiri saja yang berpendapat sebagaimana pendapat Aisyah, dan kebetulan Ibnu Taimiyah juga berpendapat yang sama.Jumhur ulama menolak kebolehannya dan beralasan bahwa apa yang terjadi pada Sahlah istri Abu Hizaifah dan Salim adalah semata-mata pengkhususan di luar kebiasaan, dan itu adalah hak preogratif Rasulullah SAW. Hukumnya tidak berlaku buat orang lain.Mengapa para ulama menolak keumuman kisah ini sebagai dalil pembenaran?Jawabnya karena ada begitu banyak dalil lain yang secara tegas memastikan bahwa kemahraman itu tidak akan terjadi bila anak yang disusui telah melewati batas usia dua tahun. Dan bisa saja ada kemungkinan bahwa hadits tentang kisah Aisyah yang membolehkan laki-laki dewasa menyusu pada wanita agar menjadi mahram sudah dihapus keberlakukannya, dengan datangnya hadits-hadits berikut ini :عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ رض قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ اِلاَّ مَا فَتَقَ اْلاَمْعَاءَ فِى الثَّدْيِ وَ كَانَ قَبْلَ اْلفِطَامِ. الترمذى و صححهDari Ummu Salamah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dapat menjadikan mahram melainkan susuan yang memberi bekas pada perut dengan susuan itu, dan hal itu terjadi pada waktu anak tersebut belum disapih”. (HR. Tirmidzi dan ia mengesahkannya)عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِيْنَارٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ رَضَاعَ اِلاَّ مَا كَانَ فِى اْلحَوْلَيْنِ. الدارقطنىDari Ibnu ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Abbas, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Tidak ada susuan melainkan yang berlangsung dalam (usia) dua tahun”. (HR. Daruquthni)عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ رَضَاعَ اِلاَّ مَا اَنْشَزَ اْلعَظْمَ وَ اَنْبَتَ اللَّحْمَ. ابو دتودDari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada penyusuan melainkan apa yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging”. (HR. Abu Dawud)عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ رَضَاعَ بَعْدَ فِصَالٍ وَ لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ. ابو داود و الطياليسى فى مسندهDari Jabir dari Nabi SAW, ia berkata, “Tidak ada susuan sesudah disapih dan tidak ada yatim sesudah baligh”. (HR. Abu Dawud)Dalil yang paling istimewa adalah dalil yang terakhir, yaitu dalil yang datangnya malah lewat Aisyah radhiyallahuanha sendiri, yaitu "عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ص وَ عِنْدِى رَجُلٌ فَقَالَ: مَنْ هذَا؟ قُلْتُ: اَخِى مِنَ الرَّضَاعَةِ. قَالَ: يَا عَائِشَةُ اُنْظُرْنَ مِنْ اِخْوَانِكُنَّ، فَاِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ اْلمَجَاعَةِ. الجماعة الا الترمذىDari ‘Aisyah RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah masuk rumahku, sedang di sisiku ada seorang laki-laki, kemudian beliau bertanya, “Siapa dia ini ?”. Aku menjawab, “Saudaraku sepesusuan”. Beliau bersabda, “Hai ‘Aisyah, perhatikanlah saudara-saudaramu, karena sebenarnya radla’ah (susuan yang dianggap) itu ialah (susuan yang dapat menutup) rasa lapar”. (HR. Jamaah kecuali Tirmidzi)Jawaban Pertanyaan Kedua : Bagaimana jika ada orang yg memakai/mengamalkan ijtihad ini? Toh ijtihad itu sah untuk diikuti, benar dapat dua pahala dan kalau salah dapat satu pahala. Nah, kalau boleh begini lantas apakah tidak berakibat timbul banyaknya kemaksiatan?Sebenarnya pendapat ini boleh dibilang marjuh atau pendapat yang tidak diterima oleh kebanyakan ulama. Kurang lebih levelnya setara dengan pendapat kalangan syiah yang menghalalkan nikah mut'ah, karena dahulu di masa Nabi pun sudah diharamkan.Memang benar nikah mut'ah itu pernah diberlakukan dan para shahabat memang banyak yang melakukannya. Namun kemudian Rasulullah SAW mengharamkannya. Sayangnya, dalil yang mengharamkannya tidak diterima oleh kalangan syi'ah, akhirnya syi'ah dikenal sebagai mazhab yang menyimpang dalam urusan hukum nikah mut'ah ini.Maka menurut hemat saya, apa yang diijtihadkan oleh Aisyah ini tidak bisa dibenarkan, karena merupakan pendapat yang menyendiri dan jauh menyimpang dari apa yang diterima oleh seluruh shahabat dan para ulama sepanjang masa.Benar Dapat Dua Pahala Salah Dapat Satu Pahala?Sedangkan urusan bahwa bila orang berijtihad dan benar dia akan dapat dua pahala dan jika salah dapat satu pahala, tentu tidak bisa dipakai dalam konteks ini.Mengapa?Sebab pahala yang diberikan itu hanya dikhususkan buat mereka yang melakukan ijtihad. Yang berijtihad dalam hal ini adalah Aisyah, Daud Adz-Dzahiri dan Ibnu Taimiyah. Dan ternyata ijtihad mereka itu salah alias keliru. Buat mereka, karena mereka mujtahid sungguhan, tentu mereka tidak berdosa bahkan mendapatkan pahala.Sedangkan kita ini tidak melakukan ijtihad, kita ini cuma sebatas muqallid, muttabi', pengikut saja. Maka buat kita, tidak ada pahala apapun, karena pahala yang dijanjikan adalah pahala dari melakukan ijtihad. Tentu ijtihad ini tidak boleh dilakukan kecuali hanya orang yang profesional dan ahli di bidangnya. Jangan sampai kita berpikir bahwa kita ikut dapat pahala walau pun salah. Ini adalah analisa yang kurang tepat.Kalau kita sudah tahu dengan jelas bagaimana letak kesalahan ijtihad mereka, maka hukumnya bagi kita haram untuk mengikuti mereka.Kalau urusan kemaksiatan, insya Allah pandangan Aisyah dan lain-lainya, seandainya kita terima, tidak akan melahirkan kemaksiatan. Sebab katakanlah pasangan pacaran belum nikah, lalu mereka berbuat mesum sampai yang laki menyusu kepada yang perempuan sebelum dihalalkan dalam pernikahan, maka tujuan mereka untuk menikah malah tertutup selamanya.Kenapa?Kalau kita pinjam sebentar pendapat Aisyah, mereka berdua malah jadi mahram. Dan kalau jadi mahram, maka mereka malah tidak boleh menikah. Sedangkan kalau kita pakai pendapat jumhur ulama, mereka tetap boleh menikah, lantaran bila laki-laki dewasa menyusu kepada seorang wanita, tidak akan melahirkan kemahraman. Walau pun bukan berarti kita katakan bahwa pendapat jumhur ini beresiko pasangan pra nikah bebas menyusu, karena tidak beresiko kemahraman. Tentu tidak demikian, sebab perbuatan itu termasuk bagian dari zina yang hukumnya tetap haram.Pertanyaan ketiga nampaknya sudah terjawab pada jawaban kedua ini.Demikian jawaban saya ya akhi, semoga Allah SWT memberikan kita petunjuk dan keselamtan. Apa yang benar pasti datangnya dari Allah SWT dan bila ada yang salah, sudah pasti datangnya dari saya sendiri, yang merasa sangat kekurangan ilmu. Hanya Allah SWT yang Maha Tahu dan Maha Benar.Wassalamu 'alaikum warahmatullah wabarakatuh,Ahmad Sarwat, Lc., MAsumber rumahfiqih.com